Menu

Sep 9, 2007

Banyak Kasus Bunuh Diri

Belakangan ini, banyak sekali kejadian bunuh diri. Tidak hanya terjadi di Batam, tetapi di seluruh Indonesia. Bahkan dunia. Kalau membunuh diri sendiri, 'mungkin' tidak ada masalah. Tetapi bagaimana jika mengajak anak-anaknya bunuh diri bersama. Padahal, mereka tidak mengetahui apa-apa.

Kejadian ibu membunuh dua anaknya ini belum lama terjadi. Anaknya masih berusia 12 tahun dan 1 tahun. Sungguh tragis kematian anaknya ini, karena pada bekas leher keduanya, terdapat bekas jerat tali. Namun, ironisnya nyawa ibunya masih sempat tertolong, waktu mengantungkan dirinya. Saat ini, dia masih di rawat di RS. Kalau dianyatakan 'waras' tentunya masuk ke khasus Pidana, tetapi kalo dinyatakan gila? Masuk ke RSJ.

Kalau ditilik ke belakang, mana ada orang tua yang tega membunuh anak kandungnya. Kasus ini biarlah terus berjalan di urusan kepolisan. Menurut salah seorang pakar Piskolog, Bibianah Dyah Suchayani, di Batam. Ia mendugaan Esti membunuh kedua anaknya, dikarenakan sedang mengalami depresi yang berkepanjangan.

''Depresi yang dialami Esti ini tidak dalam waktu singkat, artinya sudah ada penumpukan beban masalah. Mungkin saja bisa dikarenakan sosial, ekonomi, keharmonisan rumah tangga atau banyak kemungkinan lainnya,'' ujarnya.

Kejadian ibu membunuh anak ini sudah pernah terjadi di beberapa daerah lain di Indonesia. Bisa dikarenakan sang ibu, yang ingin bunuh diri tidak tega memikirkan nasib anaknya, setelah dia meninggal dunia, karena bunuh diri.

''Dari beberapa kasus yang serupa, tujuan utama bukan untuk membunuh anak. Tujuannya utama ibu membunuh anaknya, demi kebaikan anak itu sendiri. Dari segi pandang ibu itu sendiri,'' tuturnya.

Bibianah memberikan contoh, ibu memukul ataupun mencubit anaknya bukan karena membenci, bertujuan mendisiplinkan anak. Seperti kasus Esti yang membunuh kedua anaknya ini, bertujuan untuk melindunginya. Karena tidak tega melihat anak hidup menderita terus ataupun merasa sedih melihat nasib anaknya. Dikarenakan sering melihat orang tuanya bertengkar atau tidak harmonis. ''Sehingga ibu mengambil jalanpintas, yang menurutnya baik. Padahal belum tentu,'' ungkapnya.

Kebanyakan orang yang mengalami depresi berkepanjangan dan tidak mempunyai seseorang untuk berbagi masalah, sehingga semua masalah yang dialaminya dipendam dan menumpuk. Hingga batas yang sudah tidak bisa ditanggungnya lagi. Sehingga mengambil tindakan diluar rasio.

''Dengan membunuh anaknya, dia pikir anaknya akan hidup tenang. Ini merupakan pola pikir yang salah, Karena ada kerentanan cara berpikir dalam menghadapi masalah. Seolah-olah ini merupakan cara untuk menyelamatkan anaknya,'' terangnya.

Dari segi kasus Esti, Bibianah menduga, ada unsur ketidak harmonisan dalam rumah tangga. Kemungkinan dikarenakan kurangnya komunikasi antara suami-istri. ''Modus ibu membunuh anak, mungkin dikarenakan faktor ekonomi atau ketidak harmonisan. Sehingga ibu membuat pola pikir dalam dirinya menganggap anaknya menderita bersamanya,'' tuturnya.

Sehingga sebelum sang ibu melakukan bunuh diri, tentunya ia juga memikirkan nasib anaknya. Daripada nasib anaknya tidak menentu dan akan lebih menderita. Maka, sang ibu sebelum bunuh diri, membunuh anaknya terlebih dahulu. Bila dilihat dari kasus Esti, Vetty anak pertamanya yang sudah berusia dua belas tahun, tentunya sudah memiliki pola pikir walaupun tidak matang. Melihat kondisi tubuh Vetty yang sudah tidak bernyawa itu, tidak ada bekas luka selain bekas jerat tali dilehernya.

''Esti bisa saja menceritakan masalahnya kepada anaknya, dan mengajak anaknya untuk bunuh diri bersama. Karena anak yang masih berusia remaja itu pola pikirnya masih belum matang. Sehingga gampang dipengaruhi,'' terangnya. Ditegaskan, Bibianah, ibu membunuh anaknya ini bertujuan baik dalam arti pandang segi pelaku itu sendiri. Ibu tidak tega meninggalkan anaknya sendiri.

Untuk kasus Esti ini, Bibianah menganggap, adanya kerentanan piskologi sehingga menyebabkan jiwanya terganggu (mengalami kelainan jiwa). Disinggung mengenai trauma paska melahirkan, anak keduanya, yang berusia satu tahun. Bibianah menuturkan, sindrom paska melahirkan sering disebut sindrom baby blues.

''Biasanya sindrom Baby Blues ini, diakibatkan terjadinya gangguan aktivitas setelah melahirkan. Yang dulunya, selama belum hamil dan melahirkan bisa melakukan kegiatan apapun yang diinginkan,'' tuturnya.

Namun, karena sudah melahirkan dan memiliki seorang anak kecil yang harus dirawat, tentunya aktivitas yang biasanya dilakukan jadi terganggu. ''Biasanya sindrom ini dialami karena ibu merasa hidupnya sudah berubah, tidak ada lagi orang yang memperhatikannya, dan merasa terbeban karena kelahiran bayi,'' ujarnya.

Sehingga beban sang ibu terasa berat. Ditambah kurangnya komunikasi dalam keluarga. Biasanya ibu yang terkena sindrom baby blues ini tidak mau mengurus anaknya atau anaknya ditelantarkan. ''Sindrom baby blues ini kemungkinan bisa dialami Esti, dan juga bisa ada alasan lain, kurangnya keharmonisan dalam hubungan dan tidak mempunyai teman curhat dan lingkungan yang tidak mendukung, menjadikannya depresi berat dan berpikir dengan pola pikirnya sendiri,'' pungkasnya.

No comments:

Post a Comment

Terimakasih Telah Berkunjung dan Silahkan berkomentar sesuai dengan artikel. No spammy please..... Salam cantik, sehat dan bahagia selalu