Tak gampang memilih jodoh yang pas. Banyak hal yang harus ditimbang-timbang. Perkawinan adalah peristiwa sakral. Karenanya, banyak hal yang perlu dipertimbangkan sebelum memutuskan untuk menikah. Sukses perkawinan juga dianggap ikut menentukan mutu sumber daya manusia bangsa.
Tak heran, pemerintah Singapura sampai harus menyusun panduan memilih teman hidup agar generasi mudanya tak salah langkah. Salah satu butir panduan, misalnya, jangan lekas-lekas pergi nonton bioskop berdua. Maksudnya, agar seks selama berkencan tidak berjalan mendahului cinta.
Persoalannya, struktur demografi dunia sekarang ini menunjukkan angka, tersedia lebih sedikit pria dewasa untuk menjadi pasangan hidup wanita (low sex ratio). Fakta itu membuat banyak kaum Hawa di dunia merasa gelisah kalau-kalau tidak mendapat jodoh. Terlebih bagi wanita berkultur Timur yang menabukan wanita lebih aktif dalam bergaul dan mencari calon teman hidup.
KENAPA SALAH PILIH?
Salah memilih teman hidup sering berawal dari kelewat cepat memutuskan bahwa dialah si "Mr. Right".
Kurang matangnya menentukan pilihan teman hidup sebagian besar karena umur saat mulai berkencan kelewat muda, janji sehidup semati diputuskan ketika usia belum cukup dewasa, dan model pacaran yang dipilih jenis permisif dan kelewat ngebut.
Kalau begitu, kapan sesungguhnya seseorang sudah pantas pacaran?
Secara biologis dan jiwa, seorang wanita baru matang setelah berumur 24 tahun. Jika diasumsikan pada umur 24 tahun sudah boleh menikah, pacaran mestinya sudah boleh berlangsung sebelum uisa itu. Tapi kapan?
Statistik psikologi menyebutkan, pacaran tak boleh terlalu lama. Idealnya sekitar dua tahun. Lebih lama dari itu berisiko putus, sedangkan bila lebih pendek, kemungkinan belum cukup masak. Bagi kebanyakan remaja, keputusan ini dianggap kolot. Mayoritas remaja sudah ingin pacaran lebih dini lagi.
Pola gaul remaja putri sekarang, lelaki yang baru beberapa kali bertemu dan jalan bareng sudah diputuskan sebagai pacar. Itu berarti tidak ada lagi peluang buat teman lelaki lain untuk masuk dalam lingkaran pergaulan kita. Ibaratnya, mereka seperti katak di dalam tempurung. Seolah tidak ada lelaki lain yang lebih ideal dari si dia.
Akibatnya, banyak perkawinan yang berakhir dengan penyesalan, kenapa dulu memilih dia, kalau tahu sekarang ternyata menemukan calon yang lebih ideal. Ini menjadi masalah karena pilihan itu belum tentu benar selektif. Gaya dan pola gaul remaja sekarang yang lebih permisif dibanding kultur bangsanya, tentu berdampak pula terhadap model pacaran yang ditempuh. Akibatnya, seks berjalan mendahului cinta. Oleh karena menjadi serba permisif dalam menempuh proses berpacaran, akibatnya yang tumbuh lebih dulu adalah tunas seks ketimbang cinta.
LUASKAN PERGAULAN
Sering keputusan pilihan teman hidup tanpa sadar terdesak oleh pertimbangan seks, bukan cinta. Padahal, cinta itu bukan emosi dan sensasi belaka.
Cinta sekarang sudah dipandang dan harus diperlakukan sebagai sesuatu yang matematis, sesuatu yang bisa dinalar.
Harold Bessel, PhD, psikolog yang banyak mendalami soal cinta menemukan, dalam cinta terkandung tiga unsur utama, yakni romantic attractrion, intimacy, dan commitment. Dalam sosok cinta, kedudukan seks hanya merupakan bagian dari romantic attraction, komponen kecil saja dalam cinta. Namun, model pacaran remaja modern menjadikan unsur seks menjadi segala-galanya, akibat serba permisifnya dalam bergaul. Dianggap kuno kalau pacaran cuma pegang-pegangan tangan belaka.
Kencan yang sehat tidak boleh salah menentukan pilihan siapa yang laik (ideal) menjadi pacar. Kita tahu dalam otak kita tersimpan apa yang disebut sebagai “peta cinta.” Bahwa setiap orang merekam dalam benaknya, sosok-sosok lawan jenis seperti yang bagaimana yang menjadi tokoh idealnya. Dan itu menjadi alat penyaring dalam menentukan pilihan siapa yang akan menjadi teman spesial dalam bergaul.
Namun, karena sosok ideal saja belum jaminan pasti cocoknya sebagai pacar, tak perlu segera memutuskan untuk langsung menjadi pacar. Perlu bergaul dulu lebih luas, lebih banyak, lebih terbuka terhadap semua lawan jenis tanpa ada yang perlu dijadikan teman spesial.
Dengan demikian akan tetap membuka peluang mendapatkan sample calon pacar yang lebih cocok, ketimbang baru ketemu sekali dan merasa itu tipe ideal, lalu langsung menubruk bahwa dialah calon pacar yang tepat. Perlu diingat, pacar tidak harus abadi, dan setiap saat boleh dan sah saja untuk putus, daripada menyesal terpaksa menikah dengan orang yang salah (‘Mr. Wrong’).
Namun, model pacaran kebanyakan remaja modern sering terpupuk unsur seks. Baru ketemu seminggu sudah kissing, sebulan petting, lebih dari itu lama-lama sudah sampai ke organ kemaluan. Pacaran model remaja modern sering menjadi khusuk hanya pada urusan seks dan melupakan yang lainnya. Dan inilah awal salah pilih teman hidup itu.
BANGUN KEINTIMAN
Hal lain yang menambah besar risiko salah pilih teman hidup, apabila proses pacaran yang mestinya lebih banyak bicara dan sedikit bekerja, ditempuh dengan cara sebaliknya: sedikit bicara dan banyak bekerja.
Kita perlu terus mengingat konsep cinta Harold bahwa dalam cinta sejati dibutuhkan 3 unsur, dan salah satunya intimacy.
Maksudnya perlu dibangun keintiman selama menempuh proses pacaran. Artinya perlu saling mengenal, menyesuaikan diri, mencocokkan diri antara dua pribadi dari dua latar belakang yang tidak sama. Dari dua perbedaan, adakah terbangun toleransi, dan bukan menuntut perubahan bahwa kamu harus menjadi aku, dan aku menjadi kamu, melainkan untuk sehatnya, engkau dan aku menjadi senyawa bernama “kita”.
Agar proses menempuh keintiman berjalan mulus dan mencapai hasil ideal, kencan tidak boleh direcoki oleh unsur seks. Seks bisa memberi hasil yang bias, yang mengecoh seolah-olah cocok. Padahal, sebetulnya mungkin hanya dicocok-cocokkan.
Apabila dari proses intimacy ternyata tidak pas, tidak klop, banyak ketidaksesuaian, dan toleransi tidak kunjung terbangun, jangan ragu untuk tidak dilanjutkan. Maka itu, supaya tidak berat menyetop pacaran, bangunlah model pacaran yang lebih berwibawa, yang tidak terlalu ngebut, yang wajar-wajar saja. Peran untuk membangun pacaran yang lebih anggun sebetulnya banyak ditentukan oleh pihak wanita. Mengapa?
Tidak mudah bagi pihak lelaki untuk sembarang menjadi berani, termasuk dalam sikap seksualitasnya terhadap wanita, apabila pihak wanita sendiri lebih berwibawa tidak gampangan dan murahan. Kepandaian wanita membatasi diri, dan berani untuk mengatakan tidak, untuk menolak, untuk menjaga diri tidak sembarang diapa-apakan seks oleh teman kencan, menentukan kualitas proses intimacy, atau tujuan kencan yang sehat.
Semakin ketat menjaga tidak sembarang dicium, sembarang dipeluk, sembarang dipegang-pegang, akan lebih memberi kesempatan kepada tunas cinta untuk mekar secara jujur, bukan gombal, atau cinta yang pura-pura belaka. Bahwa seks itu sesungguhnya harus didudukkan sebagai bunga dari cinta, dan bukan yang mengawali cinta. Ancaman yang datang dari pihak lelaki dalam berkencan, sering berbunyi, "Kalau betul cinta, buktikan dengan menyerahkan segalanya buat aku.” Semakin teguh menjaga kegadisan, semakin berwibawa seorang wanita sebagai gadis berpribadi luhur.
Bahwa pacar yang lari, yang menyatakan putus, setelah tidak diberi apa yang diminta, sebetulnya bisa dijadikan test case, bentuk uji coba, apakah dia pria yang setia pada cinta atau pemburu seks belaka. Pria yang menyimpan cinta sejati tidak akan mundur sekalipun tidak diberi seks. Pria yang menyatakan putus cinta jika tidak diberi seks, berarti bukan pria dengan cinta sejati.
Agar seks tidak berjalan mendahului cinta, hindarkan memasuki peluang-peluang berbahaya yang memberi kemungkinan terjadinya peristiwa seks dadakan, seperti duduk di mobil berdua malam hari, berada di tempat sunyi berdua, nonton bioskop berdua (sebagaimana menjadi butir-butir panduan pemerintah Singapura bagi para lajangnya). Jika wanita mudah terjebak dalam pikatan seks, akan lebih sukar mengelak untuk mengatakan tidak.
TAK BOLEH LEWAT BATAS
Hukum seks bagi wanita “the point of no return”. Apakah itu?
Dalam gelora seksualitas, faal seksualitas wanita memiliki tabiat, akan tibanya pada suatu titik pasrah sempurna di saat detik-detik libido sudah di puncak. Sekali titik libido memuncak itu terlewati, yang tidak boleh terjadi akan terjadi juga. Agar titik di mana wanita akan terlambat dan tak mampu undur lagi, maka pacaran tidak boleh kelewat batas.
Jauh sebelum terjatuh, pihak wanita masih punya rem yang lebih pakem dibanding faal seksualitas pasangannya. Pihak wanita yang sesungguhnya lebih bisa mengontrol jika pacaran mulai melaju lebih kencang. Dan pihak wanita juga yang tahu persis kapan rem seks itu harus betul-betul diinjak tandas, sebelum ‘kecelakaan’ seks terjadi.
Masalah timbul jika perkawinan dibangun di atas kecelakaan seks. Statistik menunjukkan bahwa perkawinan ‘kecelakaan seks’ umumnya tidaklah selanggeng perkawinan yang diputuskan secara matang. Kawin ‘kecelakaan seks’ umumnya buah dari keputusan yang masih mentah, dalam usia maupun kematangan proses kencannya. Itu berarti risiko untuk bercerai, jauh lebih besar dibanding perkawinan normal.
Harold menciptakan kuesioner untuk menilai apakah suatu perkawinan bahagia. Ternyata skor Romantic Atrraction (RAQ) pasangan yang perkawinannya berbahagia lebih tinggi dibanding yang perkawinannya gagal. Ini bukti bahwa proses kecocokan dalam perkawinan, yang ditentukan oleh kualitas proses intimacy, menentukan kebahagiaan perkawinan.
Bukankah kita sering mendengar perkawinan selebriti banyak yang putus di tengah jalan, dengan alasan sudah tidak ada kecocokan lagi? Satu bukti bahwa cinta saja (kalau benar ada), ternyata tidak cukup. (Tabloid Nova)