Dari Trafficking hingga Dapur Arang
Anggota DPD RI asal Kepulauan Riau selama satu bulan penuh melakukan reses dibeberapa daerah yang ada di Kepulauan Riau untuk disampaikan di sidang Paripurna di Jakarta mengenai persoalan di daerah masing-masing. Aida Ismeth, anggota DPD RI asal Kepri, kemarin, menuturkan, banyak persoalan yang akan disampaikan di sidang paripurna yang hari ini (kemarin, red) digelar di Jakarta.
''Selama reses di Kepri, saya akan membawa persoalan ini di Jakarta untuk bisa dicarikan solusi. Persoalan yang akan saya sampaikan mengenai BLK (Balai Latihan Kerja) dan juga mengenai kasus trafficking,'' ujar Aida.
Menurut Aida, Kepri merupakan daerah kepulauan dan banyak dijadikan tempat translit para TKI dan TKW yang hendak bekerja di Malaysia dan Singapura yang sering menjadi perdagangan manusia atau trafficking.
Angka perdagangan manusia atau trafficking di Indonesia termasuk angka yang relatif tinggi. Dikarenakan beberapa warga yang hendak bekerja di luar negeri tidak dilengkapi skill atau keterampilan yang sesuai. ''Di Kepri perlu dibangun tempat BLK yang benar-benar memberikan keterampilan kepada calon pekerja. Sehingga pekerja benar-benar memiliki keterampilan yang layak. Bukan hanya sekedar BLK saja,'' ujarnya.
Persoalan hingga saat ini di Kepri belum dibangun BLK, karena biaya dari pusat masih belum juga turun. Untuk itu, kata Aida, pihaknya akan menyampaikan hal tersebut. ''Kita butuh aturan yang jelas mengenai tenaga kerja Indonesia dan juga prosedur yang berlaku,'' tuturnya.
Aida melanjutkan, dirinya mendapat laporan dari beberapa TKI yang mempunyai skill dan juga sesuai dengan prosedur tetapi juga masih dipungut biaya. ''Kita minta agar pemerintah transparasi dalam memberikan pengurusan prosedur TKI yang sudah sesuai dengan persyaratan, kenapa masih dimintai biaya,'' katanya.
Diakui Aida, pihaknya akan menyampaikan beberapa persoalan yang terjadi di Kepri. Sehingga bisa mendapatkan jalan keluar untuk kemajuan Indonesia dan khususnya Kepri.
Sementara itu, Anggota DPD RI asal Kepri, Hendry Frankim menuturkan, selama reses banyak persoalan yang dihadapi masyarakat Kepri dan seharusnya bisa diselesaikan di daerah. ''Selama saya reses di Batam banyak warga mengeluhkan megenai penutupan dapur arang di Batam. Sebaiknya penutupan itu dikaji ulang. Karena usaha itu diyakini telah digeluti masyarakat pesisir sejak ratusan tahun lalu,'' ujarnya.
Frankim menambahkan, penutupan dapur arang dilakukan secara tiba-tiba membuat pekerja dapur arang kehilangan pekerjaannya.
Penutupan operasi dapur arang 1-12 menimbulkan keresahan masyarakat karena mata pencarian mereka ditutup. ''Permasalahan ini akan saya laporkan kepada Departemen Kehutanan,'' ujarnya.
Menurutnya, masyarakat percaya pohon bakau yang merupakan bahan baku kayu arang tidak mudah rusak. Pertumbuhannya lebih cepat dibanding pohon biasa, meski beberapa bagian batangnya ditebang.
Masyarakat pesisir juga tidak akan berani menebang kayu bakau di lokasi yang ditetapkan sebagai hutan lindung. Untuk memastikan hal tersebut, Frankim melanjutkan, Departemen Kehutanan sebaiknya membentuk tim pengkaji kelestarian bakau, sebelum memutuskan menutup dapur arang.
''Kalau usaha dapur arang itu merusak lingkungan atau habitat pohon bakau, silahkan saja ditutup. Tapi kalau sebaliknya, sebaiknya usaha dapur arang itu dibuka kembali,'' ungkapnya.
Pemerintah Pusat sebaiknya tidak menyamakan wilayah Kepri dengan wilayah lainnya, karena Kepri memiliki wilayah lautan yang lebih luas dibanding daratan. Apalagi sebagian masyarakat pesisir bekerja sebagai nelayan, sementara sebagiannya lagi mengandalkan usaha dapur arang turun temurun.
Anggota DPD RI asal Kepulauan Riau selama satu bulan penuh melakukan reses dibeberapa daerah yang ada di Kepulauan Riau untuk disampaikan di sidang Paripurna di Jakarta mengenai persoalan di daerah masing-masing. Aida Ismeth, anggota DPD RI asal Kepri, kemarin, menuturkan, banyak persoalan yang akan disampaikan di sidang paripurna yang hari ini (kemarin, red) digelar di Jakarta.
''Selama reses di Kepri, saya akan membawa persoalan ini di Jakarta untuk bisa dicarikan solusi. Persoalan yang akan saya sampaikan mengenai BLK (Balai Latihan Kerja) dan juga mengenai kasus trafficking,'' ujar Aida.
Menurut Aida, Kepri merupakan daerah kepulauan dan banyak dijadikan tempat translit para TKI dan TKW yang hendak bekerja di Malaysia dan Singapura yang sering menjadi perdagangan manusia atau trafficking.
Angka perdagangan manusia atau trafficking di Indonesia termasuk angka yang relatif tinggi. Dikarenakan beberapa warga yang hendak bekerja di luar negeri tidak dilengkapi skill atau keterampilan yang sesuai. ''Di Kepri perlu dibangun tempat BLK yang benar-benar memberikan keterampilan kepada calon pekerja. Sehingga pekerja benar-benar memiliki keterampilan yang layak. Bukan hanya sekedar BLK saja,'' ujarnya.
Persoalan hingga saat ini di Kepri belum dibangun BLK, karena biaya dari pusat masih belum juga turun. Untuk itu, kata Aida, pihaknya akan menyampaikan hal tersebut. ''Kita butuh aturan yang jelas mengenai tenaga kerja Indonesia dan juga prosedur yang berlaku,'' tuturnya.
Aida melanjutkan, dirinya mendapat laporan dari beberapa TKI yang mempunyai skill dan juga sesuai dengan prosedur tetapi juga masih dipungut biaya. ''Kita minta agar pemerintah transparasi dalam memberikan pengurusan prosedur TKI yang sudah sesuai dengan persyaratan, kenapa masih dimintai biaya,'' katanya.
Diakui Aida, pihaknya akan menyampaikan beberapa persoalan yang terjadi di Kepri. Sehingga bisa mendapatkan jalan keluar untuk kemajuan Indonesia dan khususnya Kepri.
Sementara itu, Anggota DPD RI asal Kepri, Hendry Frankim menuturkan, selama reses banyak persoalan yang dihadapi masyarakat Kepri dan seharusnya bisa diselesaikan di daerah. ''Selama saya reses di Batam banyak warga mengeluhkan megenai penutupan dapur arang di Batam. Sebaiknya penutupan itu dikaji ulang. Karena usaha itu diyakini telah digeluti masyarakat pesisir sejak ratusan tahun lalu,'' ujarnya.
Frankim menambahkan, penutupan dapur arang dilakukan secara tiba-tiba membuat pekerja dapur arang kehilangan pekerjaannya.
Penutupan operasi dapur arang 1-12 menimbulkan keresahan masyarakat karena mata pencarian mereka ditutup. ''Permasalahan ini akan saya laporkan kepada Departemen Kehutanan,'' ujarnya.
Menurutnya, masyarakat percaya pohon bakau yang merupakan bahan baku kayu arang tidak mudah rusak. Pertumbuhannya lebih cepat dibanding pohon biasa, meski beberapa bagian batangnya ditebang.
Masyarakat pesisir juga tidak akan berani menebang kayu bakau di lokasi yang ditetapkan sebagai hutan lindung. Untuk memastikan hal tersebut, Frankim melanjutkan, Departemen Kehutanan sebaiknya membentuk tim pengkaji kelestarian bakau, sebelum memutuskan menutup dapur arang.
''Kalau usaha dapur arang itu merusak lingkungan atau habitat pohon bakau, silahkan saja ditutup. Tapi kalau sebaliknya, sebaiknya usaha dapur arang itu dibuka kembali,'' ungkapnya.
Pemerintah Pusat sebaiknya tidak menyamakan wilayah Kepri dengan wilayah lainnya, karena Kepri memiliki wilayah lautan yang lebih luas dibanding daratan. Apalagi sebagian masyarakat pesisir bekerja sebagai nelayan, sementara sebagiannya lagi mengandalkan usaha dapur arang turun temurun.